1.1 Latar Belakang Masalah
Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all
di Indonesia menurun. Jika tahun lalu Indonesia berada di peringkat ke-65,
tahun ini merosot di peringkat ke-69. Berdasarkan data dalam Education For All
(EFA)
Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education
yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin
(1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education
development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah
0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di
dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di
atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
Total nilai EDI itu
diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu:
·
Angka partisipasi
pendidikan dasar,
·
Angka melek huruf pada
usia 15 tahun ke atas,
·
Angka partisipasi
menurut kesetaraan jender,
·
Angka bertahan siswa
hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Penurunan EDI
Indonesia yang cukup tinggi tahun ini terjadi terutama pada kategori penilaian
angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas
pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima
tahun.
Dalam pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 memuat cita-cita pendidikan bangsa Indonesia, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan itu, harkat dan martabat seluruh warga
negara akan dapat terwujud. Salah satunya dengan adanya sekolah dan sistem
sekolah sebagai suatu lembaga sosial dan pendidikan dipilih dan ditempatkan di
antara sistem kelembagaan yang telah ada.
Menurut Suyata, fungsi
utama sekolah pada awalnya adalah pengajaran namun dalam perkembangannya
sekolah berfungsi majemuk dengan pendidikan sebagai intinya. Persoalan jumlah
dan siapa yang perlu memperoleh pendidikan kiranya cukup jelas, yaitu semua
rakyat pembentuk bangsa kita, sedangkan yang perlu dipikirkan dan di usahakan
adalah kualitas pendidikan atau mutu kecerdasannya, serta cara mencapainya
merupakan implikasi pesan utama cita-cita yang diletakkan oleh bapak-bapak
pendiri Republik Indonesia dan pengisian pesan tersebut perlu dicari, dikaji,
dan terus dikembangkan.
Memasuki abad ke- 21
gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajuan teknologi dan
perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi
berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia
terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan
sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Hasil itu
diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang
telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa.
Menurut Tilaar, bukan
saja bagi para professional, juga bagi masyarakat luas pun terdapat suatu
gerakan yang menginginkan adanya perubahan sekarang juga dalam hal usaha
peningkatan mutu atau mutu pendidikan. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan
sumber daya manusia di negara-negara lain.
2.1 Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan
pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di
Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang terdapat dalam pembukaan
UUD 1945. Sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan
yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Sesuai dengan ciri
pendidikan di Indonesia, salah satunya aspek ketuhanan yang sudah dikembangkan
dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah
maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat,
melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan
ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan
yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para
siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran
sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi
melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
2.2 Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah
kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia masih menjadi perhatian. Hal ini
terlihat dari banyaknya kendala yang mempengaruhi peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia. Sehingga perlu diteliti dan dicermati agar kelak
bangsa Indonesia dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan lancar dan dapat
bersaing di Era Globalisasi.
Beberapa pendapat para
ahli pendidikan tentang kendala peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia,
yaitu:
1.
Menurut Soedijarto
(1991: 56), bahwa rendahnya mutu atau kualitas pendidikan di samping disebabkan
oleh karena pemberian peranan yang kurang proporsional terhadap sekolah, kurang
memadainya perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan sistem kurikulum, dan
penggunaan prestasi hasil belajar secara kognitif sebagai satu-satunya
indikator keberhasilan pendidikan, juga disebabkan karena sistem evaluasi tidak
secara berencana didudukkan sebagai alat pendidikan dan bagian terpadu dari
system kurikulum.
2.
Secara umum,
Edward Sallis (1984) dalam Total Quality Management in
Education menyebutkan, kondisi yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan dapat berasal dari berbagai macam sumber, yaitu miskinnya
perancangan kurikulum, ketidak cocokan pengelolaan gedung, lingkungan kerja
yang tidak kondusif, ketidaksesuaian system dan prosedur (manajemen), tidak
cukupnya jam pelajaran, kurangnya sumber daya, dan pengadaan staf (Syafaruddin,
2002: 14).
3.
Sedangkan menurut
laporan Bank Dunia dalam Mulyasa (2002: 12-13), terdapat empat faktor yang
diidentifikasi menjadi kendala mutu atau mutu pendidikan di Indonesia, yaitu:
4.
Kompleksitas
pengorganisasian pendidikan antara Depdiknas (bertanggung jawab dalam hal materi
pendidikan, evaluasi buku teks dan kelayakan bahan-bahan ajar) dan Depagri
dalam bidang (ketenagaan, sumber daya material, dan sumber daya lainnya). Di
samping itu, Departemen Agama bertanggung jawab dalam membina dan mengawasi
sekolah-sekolah keagamaan negeri maupun swasta. Dualisme ini berakibat fatal
karena rancunya pembagian tanggung jawab dan peranan manajerial, keterlambatan
dan terpilahnya system pembiayaan, serta perebutan kewenangan atas guru.
5.
Praktik
manajemen yang sentralistik pada tingkat SLTP. Pembiayaan dan perencanaan oleh
pemerintah pusat yang melibatkan banyak departemen. Hal ini menghambat
pencapaiaan tujuan wajib belajar pendidikan dasar.
6.
Praktik
penganggaran yang terpecah dan kaku. Kompleksitas organisasi yang menyiapkan anggaran
pembangunan menjadi rumitnya pengelolaan pendidikan. Bappenas, Depdiknas, dan
Depagri, termasuk Depag, dalam menyiapkan anggaran pendidikan. Akibatnya, hal
ini menimbulkan dampak negatif, yaitu tidak adanya tanggung jawab yang jelas
antar unit, tidak ada evaluasi reguler terhadap kebutuhan riil, dan tidak ada
jaminan dana yang dialokasikan secara benar dan merata.
7.
Manajemen
sekolah yang tidak efektif. Sebagai
pelaku utama, kepala sekolah banyak yang kurang mampu melakukan peningkatan
mutu sekolahnya karena tidak dilengkapi dengan kemampuan kepemimpinan dan
manajerial yang baik. Pelatihan yang kurang dan rekruitmen kepala sekolah yang
belum didasarkan atas kemampuan memimpin dan profesionalitas.
2.3 Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Salah satu penyebab
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, yaitu: rendahnya kualitas guru.
Keadaan guru di Indonesia masih menjadi perhatian. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Rendahnya kualitas
guru disebabkan oleh guru atau pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya.
Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di
mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal tersebut
benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
sebenarnya. Hal lain adalah pendidik yang kurang inovasi dan kurang kreatif
dalam pembelajaran yang tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan
baik, sehingga tidak mudah dimengerti dan membuat tertarik peserta didik.
2.4 Solusi Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia
Masalah kualitas
pendidikan, rupanya menjadi perhatian di dunia pendidikan dewasa ini. Menurut
Tilaar (1990: 187), bukan saja bagi para professional, juga bagi masyarakat
luas pun terdapat suatu gerakan yang menginginkan adanya perubahan sekarang
juga dalam hal usaha peningkatan mutu atau kualitas pendidikan.
Dengan melihat keadaan
mutu pendidikan yang rendah, maka telah diupayakan usaha-usaha dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu
pendidikan sasaran sentralnya yang dibenahi adalah mutu guru dan mutu
pendidikan guru (Zamroni, 2001:51).
Dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan, maka perlu kiranya dilakukan
kegiatan-kegiatan dalam usaha peningkatan kualitas guru, yaitu:
1. Absensi dan Kedisiplinan Guru
Hal ini sangat
menentukan mutu pendidikan guru, karena absensi dan kedisiplinan guru sangat
berpengaruh demi kelancaran proses belajar mengajar. Jika guru jarang hadir
atau tidak disiplin maka hal itu akan menghambat proses belajar mengajar dan
akan mengakibatkan peserta didik menjadi malas. Akan tetapi, jika guru selalu
tepat waktu tidak pernah terlambat dalam mengajar, maka hal inilah yang akan menjadi
pemacu semangat peserta didik dalam belajar. Dan bagi guru hendaknya selalu
mempunyai komitmen sebagai pendidik untuk meningkatkan mutu pendidikan.
2. Membentuk Teacher Meeting
Dimana teacher meeting
dapat diartikan dengan pertemuan atau rapat guru yang merupakan salah satu
teknik supervisi dalam rangka usaha memperbaiki situasi belajar mengajar di
sekolah.
Tujuan dari Teacher
Meeting ini adalah menyatukan pendapat-pendapat tentang metode kerja yang akan
membawa mereka bersama ke arah pencapaian tujuan pengajaran yang maksimal dan
membantu guru, baik secara individu maupun secara bersama-sama untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka, menganalisa problem-problem mereka, perkembangan
pribadi dan jabatan mereka.
3. Mengikuti Penataran
Penataran merupakan salah satu saran yang tepat untuk
meningkatkan mutu guru terutama dalam hal kemampuan profesionalisme. Seperti
yang diungkapkan Djumhur dan Moch Surya dalam bukunya yang berjudul “Bimbingan
dan Penyuluhan Di Sekolah”: Penataran adalah usaha
pendidikan dan pengalaman untuk meningkatkan mutu guru dan pegawai guna
menyelaraskan pengetahuan dan keterampilan mereka sesuai dengan kemampuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya masing-masing (Djumhur,1975:115).
Kegiatan penataran
tersebut dimaksudkan untuk:
a. Mempertinggi mutu
petugas dalam bidang profesinya masing-masing
b. Meningkatkan
efisiensi kerja menuju ke arah tercapainya hasil
Adapun penataran yang
diikuti oleh guru adalah penataran yang diadakan oleh DEPAG, Depdikbud maupun
lembaga-lembaga lain. Dalam penataran ini tidak semua guru dapat mengikutinya,
tetapi hanya guru-guru tertentu dan setelah guru mengikuti penataran maka
hasilnya akan disampaikan kepada guru lainnya.
4. Mengikuti Kursus Pendidikan
Dengan mengikuti
kursus akan menambah wawasan dan pengetahuan guru. Hal ini juga akan dapat
meningkatkan profesionalisme guru lebih bermutu. Kegiatan kursus ini bisa
dilakukan secara individu maupun kolektif.
5. Mengadakan Lokakarya atau Workshop
Lokakarya atau Workshop merupakan suatu kegiatan pendidikan “in-service” dalam rangka pengembangan profesionalisme
tenaga-tenaga kependidikan (Ametembun, 1981: 103).
Lokakarya merupakan
suatu usaha untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan bekerja bersama-sama
baik mengenai masalah teoritis maupun praktis, dengan maksud untuk meningkatkan
mutu hidup pada umumnya serta mutu dalam hal pekerjaan (Piet, 1981: 108).
Dengan adanya
lokakarya ini, guru diharapkan akan memperoleh pengalaman baru dan dapat
menumbuhkan daya kreatifitas serta dapat memproduksi hasil yang berguna dari
proses belajar mengajar. Di samping itu guru dapat memupuk perasaan sosial
lebih mendalam terhadap peserta didik, sesama pendidik, dan karyawan maupun
terhadap masyarakat.
6. Mengadakan Studi Tour
Kegiatan seperti ini
biasanya dilakukan oleh guru-guru yang mengajar mata pelajaran yang sejenis dan
berkumpul bersama untuk mempelajari masalah dari pelajaran tersebut, atau
sejumlah ilmu pengetahuan yang lain. Lokasi yang dipilih biasanya berkaitan
dengan tempat hiburan atau tempat-tempat yang bernilai sejarah, sehingga
pelaksanaannya selalu menarik dan menambah semangat.
Sumber:
·
Ametembun, N. A.
1981. Supervisi Pendidikan Penuntun Bagi Para Kepala Sekolah dan
Guru-Guru, Suri, Bandung: Suri.
·
Dirawat. 1983. Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.
·
Djumhur, Moh. Surya.
1975. Bimbingan Dan Penyuluhan Di Sekolah. Bandung: CV. Ilmu.
·
Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
·
Piet, A. Sehartian.
1981. Prinsip Teknik Supervisi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.
·
Soedijarto.
1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad
XXI. Jakarta: PT. Grasindo.
·
Suyata. 1998. Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah Dan Implikasi
Kebijakan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
·
Syafaruddin.
2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi.Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
·
Tilaar, H. A. R.
1990. Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI.
Jakarta: Balai Pustaka.
·
Zamroni. 2001. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf
Publishing.





0 komentar:
Posting Komentar